Historiografi adalah ilmu yang mempelajari
praktik ilmu sejarah.
Hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk mempelajari metodologi sejarah dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin
akademik. Istilah ini dapat pula merujuk pada bagian tertentu dari tulisan sejarah. Sebagai
contoh, "historiografi Indonesia mengenai Gerakan 30 September selama rezim Soeharto"
dapat merujuk pada pendekatan metodologis dan ide-ide mengenai sejarah gerakan
tersebut yang telah ditulis selama periode tersebut. Sebagai suatu analisis meta dari deskripsi
sejarah, arti ketiga ini dapat berhubungan dengan kedua arti sebelumnya dalam
pengertian bahwa analisis tersebut biasanya terfokus pada narasi, interpretasi,
pandangan umum, penggunaan bukti-bukti, dan metode presentasi dari sejarawan
lainnya.
Dari sudut etimologis, semula berasal dari bahasa Greek
(Yunani): Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala
alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti gambaran,
lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian secara harfiah
historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil
penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam perkembangannya historiografi juga
mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para sejarawan mengacu pada pengertian
historia, sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus
pada tindakan manusia di masa lampau
Historiografi merupakan usaha mensistesiskan data sejarah menjadi kisah atau penyajian dengan jalan menulis buku-buku sejarah dan artikel atau mengucapkan kuliah-kuliah sejarah. Arti lain dari historiografi adalah membahas secara kritis buku-buku sejarah yan telah ditulis Helius Sjamsuddin dan Ismaun mengungkapkan bahwa historiografi (penulisan sejarah) merupakan rekonstruksi imajinatif masa lampau manusia berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.
Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.
Historiografi merupakan usaha mensistesiskan data sejarah menjadi kisah atau penyajian dengan jalan menulis buku-buku sejarah dan artikel atau mengucapkan kuliah-kuliah sejarah. Arti lain dari historiografi adalah membahas secara kritis buku-buku sejarah yan telah ditulis Helius Sjamsuddin dan Ismaun mengungkapkan bahwa historiografi (penulisan sejarah) merupakan rekonstruksi imajinatif masa lampau manusia berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa historiografi itu dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.
Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.
Historiografi merupakan tulisan-tulisan yang menceritakan peristiwa sejarah. Pola historiografi adalah struktur gagasan yang ditentukan terutama oleh realitas utama yang tidak berakar pada kebutuhan untuk menggambarkan realitas tersebut.
Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk meihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.
Penulisan adalah puncak dari sejarah, sebab apa yang dituliskan itu merupakan peristiwa sejarah. Sejarah sebagaimana yang diceritakan dalam penulisan tersebut mencoba memahami sejarah sebenarnya. Sedangkan untuk periodesasi hanyalah tahap awal dari sejarah. Kecenderungan pada peristiwa yang menyangkut manusia. Dan hal itu hanya bias diketahui dengan melihat rekaman sejaman yang bisa dibaca melalui tulisan.
Penulisan sejarah (historiografi) merupakan sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji ( verifikasi ), dan diinterpretasi. Sesuai dengan tugas penelitian sejarah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis (historiografi).
MENGUAK
HAKEKAT DAN ARTI SERTA HISTORIOGRAFI SEJARAH
Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah selain ruang
(space), kegiatan manusia (human activity). Perubahan (change)
dan kesinambungan (continuity). Ia merupakan unsur penting dari sejarah yaitu kejadian
masa lalu. Dengan kata lain waktu merupakan konstruksi gagasan yang digunakan
untuk memberi makna dalam kehidupan di dunia. Manusia tak dapat dilepaskan dari
waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri.
Seperti angin yang mengalir tanpa henti diatas bukit,
lembah, dan lautan, sejarah terus-menerus bergerak dalam waktu.
Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiran-pemikiran muncul, kota-kota
tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam,
perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya….
Tiap
masyarakat memilki
pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Contoh :
Masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep
garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian.
Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam
sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang.
Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah
siklus yang berulang tanpa akhir.
Sejarah merupakan sebuah proses perjalanan waktu yang
sangat luas dan panjang areanya, dalam rentang waktu itulah sejarah melewati
ratusan bahkan ribuan tahun dengan melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia
yang sangat banyak . mengkaji semua peristiwa sejarah yang luas dan panjang
secara rinci sangatlah susah, untuk itulah maka digunakan pemisahan yang
biasanya didasarkan pada momentum tertentu.
Sejarawan ingin membuat waktu yang terus-menerus bergerak
tanpa henti itu menjadi dapat dipahami (intelligible) dengan
membagi-baginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat babak, dalam
periode-periode. Suatu momentum yang dapat memberikan petunjuk adanya
karakteristik dari suatu kurun waktu yang satu berbeda dengan kurun waktu
lainnya . hal itulah yang dinamakan dengan periodisasi sejarah.
Jadi pada hakekatnya sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa dalam suatu
rentang masa yang kontinu yang melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia,
sementara periodisasi sejarah adalah produk penulisan sejarah dalam rangka
memahami rangkaian peristiwa tersebut yang di dasarkan pada momentum perubahan
sebagai “tanda” pemisahan waktu.
Kata kunci dari periodisasi adalah momentum perubahan
sebagai “tanda” pemisah waktu (karena sebenarnya waktu itu kontinu/berkesinambungan).
Jelas sudah bahwa periodisasi adalah konsep sejarawan semata-mata, suatu
produk mental dan hanya ada dalam pikiran sejarawan, suatu ideal type.
Demikianlah, periodisasi umumnya akan membagi sejarah
menjadi tiga periode, yaitu Ancient, Middle, dan Modern.. Sebagai
contoh, Periodisasi/pembabakan waktu sejarah Indonesia menurut Dr. Kuntowijoyo
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, dibagi menjadi 4 periode,
yaitu:
1. zaman prasejarah,
2. zaman kuno (Ancient),
3. zaman Islam (Middle), dan
4. zaman modern (Modern).
Babak
atau periodisasi sejarah Indonesia juga bisa ada yang lebih terperinci. Ada
pula yang mengelompokan periodisasi sejarah Indonesia menjadi beberapa jaman
yaitu :
- prasejarah (jaman batau dan jaman
logam )
- masuk dan berkembangnya pengaruh budaya India
- masuk berkembangnya islam
- jaman kolonial
- jaman pendudukan jepang
- revolusi kemerdekaan
- masa orde lama
- masa orde baru
- masa reformas
- masuk dan berkembangnya pengaruh budaya India
- masuk berkembangnya islam
- jaman kolonial
- jaman pendudukan jepang
- revolusi kemerdekaan
- masa orde lama
- masa orde baru
- masa reformas
Periodisasi adalah masalah “pentafsiran” terhadap
sejarah sebagai rangkaian peristiwa perubahan dan perkembangan dari kehidupan
manusia yang kompleks. Sudut pandang terhadap peristiwa-peristiwa itu
mempengaruhi “penjudulan” atau pengistilahan zaman/masa/periode.
Kembali ke output dan tujuan periodesasi dari mempelajari
sejarah yaitu agar peristiwa masa lalu itu mudah dimengerti dan dipahami, maka
dengan demikian sifat periodiasi itu tidaklah mutlak karena yang mutlak atau
yang tetap adalah peristiwa yang telah terjadi atau sejarah-nya sementara
periodisasi adalah produk sejarawan yang memilah waktu. Sehingga Pembagian masa
atau zaman bisa saja dikoreksi.
Sebagai contoh, Apa yang dimaksud dengan Masa Kolonial
Belanda? Dari kapan sampai kapan Masa Kolonial itu terjadi?, ketika ada koreksi
terhadap rentang masa kolonial maka otomatis ada koreksi terhadap periodiasi
yang telah dibuat sebelumnya supaya tidak ada “waktu yang hilang” atau waktu
yang di “hidden” disembunyikan dari sejarah. Bila periodisasi yang dibuat malah
jadi tidak dimengerti dan dipahami dari nilai dan esensi suatu peristiwa
sejarah… bolehkah kita buat periodisasi baru dalam penulisan baru tentang
sejarah?
Arti
Sejarah adalah ilmu mengenai peristiwa
perkembangan manusia yang unik, penting dan abadi yang terjadi pada waktu (
dahulu : dulu, kemarin dan tadi ) dan tempat tertentu. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua arti antara sejarah dalam
arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif.
Sejarah dalam arti objektif, adalah
kejadian atau peristiwa yang sebenarnya (History of Actually).
Sejarah dalam arti subjektif
(History of Record) adalah pengkisahannya, dalam pengkisahannya harus menggunakan
secara benar sumber-sumber bukti peninggalan peristiwa itu terjadi yang
bersifat akurat dan kredibel, baik berupa benda-benda (artifact) maupun
dokumen-dokumen tertulis. Bahan-bahan ini menjadi sumber sejarah. Hanya dengan
mencari sumber-sumber informasi inilah, kegiatan mencari sumber sejarah dalam
ilmu sejarah disebut heuristik, sejarawan dapat membuat rekontruksi
peristiwa masa lampau dan menulis uraian sejarah sering disebut juga History as
written atau Historiografi
Menulis
sejarah dalam bentuk historigrafi bukan perkara mudah, karena impian agar
sejarawan atau seseorang bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich
gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas
tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita
ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu,
dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu
adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah
selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh
mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan
memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu
terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang
Tapi
ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip
dasar yang membatasi kebebasan tafsir : yaitu pada pijakan pada fakta atau
kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber sejarah atau informasi yang
tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada
desas-desus dan dugaan semata-mata. Kita juga harus menyadari juga bahwa setiap
upaya mengungkap misteri suatu peristiwa sejarah hampir selalu mengundang
kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen.
Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu, tetapi di sisi lain ada
keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.
Keraguan
itu sendiri bersumber dari kondisi bahwa suatu peristiwa, episode, peristiwa
atau tokoh sejarah banyak diselimuti misteri karena jejak-jejak historis yang
ditinggalkannya – apapun bentuknya – sangat tidak mencukupi sebagai bahan
rekonstruksi masa lalu. Itulah sebabnya orang cenderung menerima narasi sejarah
atau cerita sejarah yang telah menjadi semacam “kesepakatan umum”, namun tetap
tak mampu membunuh keinginan manusia dari hasrat ingin tahu itu. Tidaklah
mengherankan, dimasa depan akan terus munculnya setiap upaya mengungkap misteri
sejarah dengan menyodorkan “fakta-fakta baru” hampir selalu mengundang
antusiasme publik. Tetapi, hal ini tidak dengan sendirinya membuat “fakta-fakta baru” itu
diterima sebagai “kebenaran baru”. Di sinilah letak kontroversi itu.
Sebenarnya, kontroversi itu bisa diminimalisir, jika
tidak bisa dihindari sama sekali, apabila sejarawan atau siapapun yang
menyodorkan “fakta-fakta baru” itu tidak berpretensi mengungkap misteri sejarah
itu secara keseluruhan. Dibutuhkan suatu kerendahan hati bahwa “fakta-fakta
baru” itu hanya mengungkap sebagian misteri. Itupun harus dibarengi dengan
kesediaan bahwa “fakta-fakta baru” itu siap diuji oleh siapapun. Agar
“fakta-fakta baru” itu tahan uji, si sejarawan atau seseorang itu sendiri harus
bersedia terlebih dahulu mengujinya sendiri setuntas mungkin. Di sini si
sejarawan atau seseorang bukan hanya dituntut bekerja keras untuk mengumpulkan
data di tengah kelangkaan sumber, tapi juga berpikir keras menguji data itu
kalau perlu secara berulang-ulang sampai pada suatu titik jenuh.
Melihat prosedur normatif yang berliku semacam itu, maka
sejarawan atau seseorang yang berpretensi mengungkap misteri sejarah, entah
sebagian apalagi secara keseluruhan, sebenarnya termasuk “manusia ulet dan
pemberani”. Ia ulet mengais data di tengah kelangkaan sumber. Ia berani menguji
data yang terbatas itu sebelum mengangkatnya dan mengumumkannya sebagai
“fakta-fakta baru”.
Sehingga bagi Sejarawan atau seseorang yang ingin menulis
kembali Sejarah ( Historiografi ), yang paling pokok adalah bahwa ia berani
bertarung melawan “keraguan publik”. Jika berhasil, karyanya akan dikenang
sebagai “pembawa pencerahan”. Jika gagal, publik mungkin akan mencibirnya
sebagai “pencari sensasi”
Historiografi
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan menginterpretasikan dengan menghubungkan ilmu-ilmu bantu lain. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan atau seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan menginterpretasikan dengan menghubungkan ilmu-ilmu bantu lain. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan atau seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya.
Dalam sebuah penulisan sejarah sejarawan atau seseorang
tidak diperbolehkan untuk mengkhayal hal-hal yang menurut akal tidak mungkin
telah terjadi. Dalam sebuah penulisan sering harus mengkhayal hal-hal yang
kiranya telah terjadi. Namun, sering terjadi mengkhayal hal-hal yang kiranya
pasti telah terjadi. Sehingga dalam sebuah penulisan sejarah tidak mungkin
untuk merumuskan mengenai aturan-aturan penggunaan imajinasi.
Sepanjang menyangkut ihwal tentang kajian kesejarahan,
yang umumnya diketahui bahwa yang menjadi permasalahannya adalah mengenai
metode tafsir seperti apa yang paling accountable dalam usaha untuk memahami
konstruksi realiti di masa lampau. Para peminat sejarah, mulai dari kalangan
awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini belum
mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, tak jarang di
antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung alasan yang
saling bertolak belakang.
Kesulitan metodik semacam itu jelas mustahil di atasi,
mengingat upaya penafsiran, sebagaimana diakui para ilmuwan sejarah seperti
Arnold J. Toynbee, tak mungkin sterile dari nilai-nilai subjektiviti masing-masing
penafsir. Sehingga secara normatif boleh dikatakan bahawa nilai subjektiviti
tersebut merupakan saudara kembar metode tafsir dalam bentuk apapun.
Namun, terlepas dari keriuhan dan kerumitan perdebatan
metodik tersebut, tak boleh dinafikan bahwa apa yang diistilahkan dengan
sejarah (yang diakui bahawa erti literalnya sampai sekarang sepenuhnya berasal
dari bahasa Inggris “history”, yang berakar dari bahasa Yunani kuno, istoria,
atau belajar dengan cara bertanya-tanya) bukanlah dimaksudkan sebagai upaya
merekonstruksi secara material dan faktual segenap kenyataan yang pernah
terjadi di masa lalu.
Ini harus disadari lantaran apa yang disebut dengan
sejarah bukanlah sebuah upaya membangun atau menghidupkan kembali (reconstruct)
sesuatu peristiwa atau teks masa lampau. Tapi, rekonstruksi peristiwa masa lalu
itu memberi pencerahan masa sekarang dan pegangan dimasa yang akan datang (
tiga dimensi ), sehingga rekontruksi sejarah itu lebih sebagai proses penalaran
tentangnya, yang secara aksiologi dimaksudkan agar seseorang memahami posisi
dan arti dirinya dalam kerangka waktu tertentu ( History is make man wise )
Tapi, sebagai proses penalaran yang berorientasi
menyingkap makna yang terselip di antara reruntuhan monumen bisu, jejak-jejak
peristiwa, serta antologi tekstual. Di mana secara aksiologi, semua itu
dianggap amat signifikan bagi seseorang yang ingin memahami posisi dirnya dalam
kerangka waktu tertentu.
Berdasarkan paradigma semacam itu, bahwa tugas seorang
sejarawan atau seseorang yang ingin tahu sejarah bukanlah “menghidupkan
kembali” konstruksi kenyataan masa lalu – yang di akui mustahil untuk dilakukan
– tapi lebih kepada memperoleh pemahaman berdasarkan nalar tentangnya, menjadi
sulit menolak fakta bahwa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot
subjektivitas pengamat.
Motif serta berjalannya sebuah proses penalaran pada
dasarnya sudah mencerminkan adanya kepentingan serta subjektiviti itu sendiri.
Jadi, tak satu pun karya dalam bidang sejarah yang sterile dari pandangan –
bahkan prasangka – pribadi maupun primordial.
Fungsi Akademis dan Propaganda
Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Arab menyatakan bahwa
para penguasa selalu berusaha untuk menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu
digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Bahkan kalau
perlu ia melakukan manipulasi data seperti yang dilakukan Ken Arok ketika ia
mendirikan Singasari dan membuat silsilah yang menerangkan bahwa ia adalah
keturunan dari Raja-raja Mataram ( bisa dilihat dalam Pararaton ). Dengan
demikian selama berabad-abad usia ilmu pengetahuan, ilmu sejarah hanya memotret
sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh besar dan mengabaikan peranan rakyat jelata
sebagai pelaku sejarah. Hal ini pun direpresentasikan dalam istilah sejarah
dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our
story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story
(cerita-nya/perempuan).
Dalam konteks tersebut, sejarah memainkan peranannya
sebagai sarana propaganda dan melupakan mission sacre-nya sebagai sebuah ilmu
objektif yang mengungkapkan sebuah kebenaran, tetapi waktu itu lebih sebagai
tulisan suci yang dilakukan raja-raja sebagai titisan dewa yang harus dijadikan
sebagai suatu bentuk keajaiban Dewa ( Tuhan ) atau laku yang disakralkan
walaupun terdapat suatu perbuatan gender, ketidakjujuran dan yang menyimpang
dari norma-norma kemanusian.
Fungsi akademis dari sejarah yang berlandaskan pada
objektivisme selama ini terabaikan ketika sejarah dibawa ke dalam ruang publik.
Dalam ruang publik yang plural, setiap kelompok, terutama kelas penguasa selalu
berusaha merebut tafsir sejarah yang sedang berlaku. Terbukanya ruang
penafsiran yang begitu lebar dalam disiplin ilmu sejarah memberikan kesempatan
yang luas bagi penguasa untuk menafsirkan, meromantisasi dan bahkan
memanipulasi sejarah sesuai dengan kehendaknya. Akibatnya muncul dikemudian
hari tafsiran-tafsiran sejarah dari suatu rezim tertentu.
Selama berabad-abad sampai dewasa ini, sejak ilmu sejarah
menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, karena telah mempunyai metode ilmiah
tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) - kritik atas
data-interpretasi-historiografi, berbagai monopoli tafsir dan manipulasi
sejarah telah berulangkali dilakukan oleh para penguasa dulu , setelah
kemerdekaan, masa Orde Baru, hingga dewasa inipun masih terjadi, baik untuk
melegitimasi kejayaan atau bahkan memaklumkan kekalahan dan kekeliruannya.
Kesimpulan.
Ilmu sejarah kiranya bukan bukan hanya milik ilmuwan dan intelektual serta bersemayam di istana raja-raja. Sebenarnya sebagai guru sebenarnya mana pantas untuk mentafisrkan sejarah. Namun perlu kiranya dimengerti bahwa ada hal yang menggembirakan dalam sudut pandang akademik dimana ;
Ilmu sejarah kiranya bukan bukan hanya milik ilmuwan dan intelektual serta bersemayam di istana raja-raja. Sebenarnya sebagai guru sebenarnya mana pantas untuk mentafisrkan sejarah. Namun perlu kiranya dimengerti bahwa ada hal yang menggembirakan dalam sudut pandang akademik dimana ;
- menjadi sulit menolak fakta bahawa
tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.
- Para peminat sejarah, mulai dari
kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga saat ini
belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut.
Bahkan, tak jarang di antaranya
memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung
alasan yang saling bertolak
belakang. Sederhananya adalah “Tidak ada rumus baku dalam
mentafsirkan sejarah”
‘Tafsir’ menurut bahasa adalah menjelaskan dan
menerangkan. Tafsir diambil dari kata ‘ Al-fasr’ yang dalam kamus dikatakan
maknanya adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup. Oleh karenanya
dalam bahasa Arab bahwa kata tafsir berarti, membuka secara maknawi dengan
memperjelas arti-arti yang tertangkap dari redaksional yang tersurat atau
tersirat ( eksplisit). Menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk
menangkap dan menjelaskan maksud-maksud tersebut baik yang jelas ataupun yang
samar.
Pengertian tafsir dalam padanan dengan sejarah memang
sedikit kita jumpai. Istilah sejarah biasanya disebut sebagai “historical
explanation” atau penjelasan sejarah. “historical explanation” didefinisikan
sebagai usaha membuat satu unit sejarah intelligible (dimengerti secara
cerdas).
Kata “analisis” memang juga dipakai bergantian dengan
“penjelasan”, diantaranya oleh Marc Bloch, terutama ketika orang
menganalisis hubungan kausal antar gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata
“penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis”
tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka lebih tepat dipakai
kata “pejelasan sejarah”.
Sedangkan pengertian sejarah diantaranya menurut Nouruzzaman
Shiddiqie mendifinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau yang tidak
hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga
memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum
sebab-akibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar